PERSEPSI
MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK
(Studi
Kualitatif di RSUD Lakipada Kabupaten Tator)
Arlin
Adam*
* Dosen FKM UVRI Makassar
Obat
generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Name (INN)
yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya
untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
Obat generik memiliki kualitas yang sama dengan obat paten meskipun harganya
lebih murah karena biaya produksi yang lebih kecil dan tidak memerlukan biaya
promosi. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja. Penelitian
ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Informan pada penelitian ini adalah masyarakat yang datang berkunjung ke
instalasi farmasi RSUD Lakipadada selama penelitian berlangsung. Pengambilan sampel diperoleh dengan teknik accidental sampling
yakni penarikan saat informan sedang mendapatkan pelayanan kesehatan. Informan
yang diwawancara pada penelitian ini sebanyak 28 orang. Hasil
penelitian diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai obat generik masih sangat kurang
sehingga menimbulkan persepsi salah yang menganggap obat generik sebagai obat murahan
dengan kualitas yang kurang baik pula. Masih kurangnya informasi yang
didapatkan masyarakat mengenai obat generik sehingga muncul anggapan yang
menyatakan bahwa obat generik hanya ditujukan bagi masyarakat miskin. Sebagian
besar masyarakat tidak meminta obat generik kepada dokter karena menganggap
dokter tahu obat mana yang lebih baik.
Rekomendasi kajian ini adalah perlunya sosialisasi penggunaan obat generik melalui media massa,
perlunya komunikasi yang lebih efektif antara dokter dan apoteker sebagai
pemberi pelayanan dengan pasien sebagai penerima pelayanan agar penggunaan obat
generik dapat ditingkatkan, serta masyarakat perlu dididik untuk meminta obat
generik saat berobat ke dokter atau membeli obat di apotek untuk mewujudkan
masyarakat yang sehat dengan biaya yang lebih terjangkau.
Kata Kunci : Persepsi, Obat Generik
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan
kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata. Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Akses terhadap obat terutama obat esensial merupakan
kewajiban bagi pemerintah dan institusi pelayanan kesehatan baik publik maupun
swasta. Berdasarkan Rancangan Kebijakan Obat Nasional (2005), sebelum
diberlakukannya otonomi daerah, diperkirakan 50-80% masyarakat Indonesia
memiliki akses terhadap obat esensial. Sementara itu, menurut WHO (World Health Organization) kurang
dari setengah jumlah penduduk di negara-negara berkembang dapat memiliki akses
terhadap obat esensial. (Adisasmito, 2008)
Pengaturan
mengenai obat dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat
secara berkelanjutan untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan
bagian yang hendak dicapai. Data tahun 2001 memperlihatkan bahwa penduduk
perkotaan yang menggunakan obat berjumlah 85,04% dan penduduk pedesaan sebesar
83,02%. Oleh karena itu, komunikasi, informasi, dan edukasi yang efektif dan
terus-menerus merupakan keharusan dalam rangka penggunaan obat yang rasional.
(Adisasmito, 2008)
Obat generik adalah obat yang
telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan
farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua jenis obat generik, yaitu obat
generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek
kandungan zat aktifnya. Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu
diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik ”A” diberi
merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”B” memberi nama ”gatoticilin” dan
seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut,
bahannya sama: amoxicillin. Dari sisi zat aktifnya (komponen utama obat),
antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan
obat paten. Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan
bakunya sama. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa
melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya
dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat
bermerek lebih mahal. (http://id.wikipedia.org,
diakses 28 Februari 2010)
Ketika
mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai
obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat
bagi kaum tak mampu. Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat
generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata.
Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien
sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Membeli obat tidak bisa
disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga barang elektronik sebanding
dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus
kualitasnya. Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa
penemuannya, yang menjadi hak eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang
pasien derita memerlukan jenis obat baru. Edukasi ke masyarakat mengenai obat
generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. (www.medicastore.com, diakses 28 Februari 2010)
Salah
kaprah yang sering ada dalam masyarakat adalah ketidaktahuan masyarakat yang
menyebut obat generik bermerek sebagai obat paten karena harganya yang lebih
mahal dari harga obat generik berlogo, bahkan hampir sama dengan obat paten.
Kesalahan umum yang juga masih sering terjadi adalah menyebut semua produk MNC
(Multi National Company) sebagai obat
paten. Padahal, obat yang telah lewat masa patennya sudah berubah menjadi obat
generik bermerek meskipun masih menggunakan nama patennya sebagai merek dagang.
(www.tonangardyanto.blogspot.com,
diakses 28 Februari 2010)
Adanya
persepsi yang salah tentang obat generik akan berakibat pada penggunaan obat
paten yang tidak semestinya. Ketidaktahuan masyarakat akan menjadi sebuah
fenomena penyakit dan kemiskinan. Penggunaan obat paten untuk semua jenis
penyakit, meskipun telah memiliki obat generik yang sepadan akan berdampak
secara ekonomi karena harganya yang sangat mahal. Keadaan ini akan turut
berperan pada semakin banyaknya penduduk miskin. Kemiskinan akan selalu identik
pula dengan tingginya angka kesakitan.
Rumah
sakit sebagai salah satu unit pelayanan yang paling banyak berurusan dengan
obat dituntut untuk dapat memberikan pengobatan yang rasional, efektif, dan
efisien. Masalah yang selama ini ada di hampir semua rumah sakit adalah
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan obat. Hal
ini karena seringkali resep yang diberikan dokter kebanyakan menggunakan obat
paten. Namun, ada pula masyarakat yang enggan menggunakan obat generik karena
dianggap tidak bermutu.
Pasar
obat generik nasional turun dari Rp 2,52 triliun atau 10 persen dari pasar obat
nasional menjadi Rp 2.37 triliun atau 7,2% dari pasar obat nasional dalam lima
tahun terakhir. Sementara, pasar obat nasional meningkat dari Rp 23,59 triliun
pada 2005 menjadi Rp 32,93 triliun pada 2009. Sedangkan ketersediaan obat
esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7% dari target 95
%. (Julianto, 2010)
Munculnya
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pada 14 Januari
2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah, menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat.
Dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis yang bekerja
di rumah sakit pemerintah wajib meresepkan obat generik kepada semua pasien
sesuai indikasi medis. Apoteker berhak untuk mengganti obat yang diresepkan
dengan obat generik yang mutunya sudah terjamin atas persetujuan dokter
dan/atau pasien. Sesuai peraturan, pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/
kota dapat memberi peringatan lisan atau tertulis kepada dokter, tenaga
kefarmasian, dan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah yang
melanggar ketentuan. Peringatan lisan atau tertulis diberikan paling banyak
tiga kali dan apabila peringatan tidak dipatuhi, pemerintah akan menjatuhkan
sanksi administratif kepegawaian kepada yang bersangkutan.
Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Lakipadada sebagai satu-satunya rumah sakit pemerintah
di Kabupaten Tana Toraja dituntut untuk dapat memberikan pelayanan pengobatan
rasional dengan memberikan resep obat generik kepada semua pasien, kecuali
untuk obat baru yang belum memiliki obat generik dengan khasiat yang sama.
Ketidaktahuan masyarakat serta kurang tersedianya obat generik di instalasi
farmasi rumah sakit sering menjadi kendala dalam pelaksanaan Permenkes RI No.
HK. 02. 02/ MENKES/ 068/ I/ 2010. Ketidaktahuan akan mutu dan harga obat
generik perlu disikapi dengan langkah sosialisasi yang edukatif kepada
masyarakat agar dapat memahami hak mereka untuk mendapatkan pengobatan rasional
yang terjangkau.
Berdasarkan
masalah di atas, maka penulis mencoba untuk meneliti persepsi masyarakat
tentang obat generik di RSUD Lakipadada. Hal ini akan sangat berguna untuk
menilai tingkat pengetahuan masyarakat, sehingga dapat ditemukan solusi terbaik
agar pelaksanaan aturan pemberian obat generik dapat terlaksana dengan baik.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah : “Mengapa masyarakat memberikan persepsi bahwa obat
generik itu obat murahan?”
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Diketahuinya persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana
Toraja
Tujuan Khusus
a. Diketahuinya informasi secara kualitatif tentang
pengetahuan masyarakat tentang obat generik di RSUD
Lakipadada
b. Diketahuinya kualitas informasi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada
c. Diketahuinya fenomena peresepan dokter terhadap obat generik di RSUD Lakipadada
Manfaat Penelitian
Memberi masukan bagi
pemerintah dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya dalam
penyedian obat generik yang terjangkau dan berkualitas
DEFENISI KONSEPTUAL
1. Persepsi pada penelitian ini adalah apa yang diyakini
masyarakat sebagai sebuah fakta atau kebenaran tentang obat generik
2. Pengetahuan pada penelitian ini adalah apa yang
diketahui masyarakat tentang obat generik
3. Informasi pada penelitian ini adalah bagaimana
informasi tentang obat generik yang diketahui oleh masyarakat
4. Peresepan Dokter pada penelitian ini adalah
bagaimana peresepan obat generik oleh dokter kepada masyarakat
METODE
PENELITIAN
Disain Penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk mengekplorasi secara mendalam
tentang persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten
Tana Toraja.
Informan
Informan Biasa
Informan pada penelitian ini adalah masyarakat yang
datang berkunjung ke instalasi farmasi RSUD Lakipadada selama penelitian
berlangsung. Pengambilan sampel diperoleh dengan teknik accidental sampling yakni pengambilan
sampel secara kebetulan. Adapun jumlah
informan yang diwawancara sebanyak 28 orang.
Informan kunci
Informan kunci pada penelitian ini sebanyak dua
orang, yang terdiri atas satu orang dokter dan satu orang apoteker.
Jawaban-jawaban informan ini dapat dijadikan sebagai alat verifikasi dalam
menjustifikasi kebenaran-kebenarn terhadap jawaban informan biasa.
Pengumpulan Data
Data Primer
Data primer yaitu data
yang diperoleh di lapangan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara untuk
menggali pemahaman masyarakat tentang obat generik
Data Sekunder
Diperoleh dari RSUD Lakipadada dan instansi terkait lainnya
Pengolahan,
Analisis Data, dan Penyajian Data
Pengolahan data dan analisa data dilakukan secara bersamaan
dengan melalui tahapan-tahapan; reduksi data, kategorisasi data, interpretasi
data, dan penarikan kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk naratif
dengan mengelaborasi secara mendalam makna-makna yang terkandung dalam setiap
fakta atau pernyataan informan.

Hasil Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan mulai tanggal 28 Maret s/d 28 April 2010 dengan mewawancara
beberapa informan secara acak hingga informasi yang diperoleh sudah
berulang-ulang (jenuh). Adapun informan yang berhasil diwawancara sebanyak 28
orang dan dua orang informan kunci. Berikut disajikan hasil penelitian yang
telah dilaksanakan.
Karakteristik
Informan dan Informan Kunci
Umur
Tabel 1
Distribusi Informan Berdasarkan Kelompok
Umur di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Kelompok
Umur
|
Jumlah
|
Persentase
|
<
30 tahun
31
– 40 tahun
41
– 50 tahun
>
50 tahun
|
12
9
7
2
|
40,00
30,00
23,33
6,67
|
Jumlah
|
30
|
100,00
|
Sumber : Data
Primer
Berdasarkan
tabel 6.1, maka diketahui bahwa informan yang berhasil diwawancara memiliki
rentang umur antara 16 – 59 tahun. Informan berumur 30 tahun ke bawah sebanyak
12 orang, informan berumur 31 – 40 tahun sebanyak sembilan orang, informan
berumur 41 – 50 tahun sebanyak tujuh orang, dan informan berumur 50 tahun ke
atas sebanyak dua orang.
Jenis
Kelamin
Tabel 2
Distribusi Informan Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
|
Persentase
|
Laki-laki
Perempuan
|
15
15
|
50,00
50,00
|
Jumlah
|
30
|
100,00
|
Sumber : Data
Primer
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa informan
laki-laki dan informan perempuan yang diwawancara masing-masing sebanyak 15 orang.
Pendidikan
Tabel 3
Distribusi Informan Berdasarkan
Pendidikan di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Kelompok
Umur
|
Jumlah
|
Persentase
|
Tidak
sekolah
SD
SMP
SMA
Akademi
S1
|
3
8
6
8
2
3
|
10,00
26,67
20,00
26,67
6,66
10,00
|
Jumlah
|
30
|
100,00
|
Sumber : Data
Primer
Tabel 6.3 memperlihatkan bahwa informan
yang berpendidikan SMA dan SD masing-masing berjumlah delapan orang. Informan
yang tamat SMP sebanyak enam orang. Informan yang tidak sekolah dan S1
masing-masing sebanyak tiga orang. Sedangkan informan yang berpendidikan
akademi sebanyak dua orang.
Pekerjaan
Tabel 4
Distribusi Informan Berdasarkan
Pekerjaan di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Kelompok
Umur
|
Jumlah
|
Persentase
|
Tani
IRT
PNS
Pensiunan
Swasta
Siswa
|
9
11
5
1
3
1
|
30,00
36,67
16,67
3,33
10,00
3,33
|
Jumlah
|
30
|
100,00
|
Sumber : Data Primer
Berdasarkan
Tabel 6.4 nampak bahwa profesi sebagian besar informan adalah sebagai ibu rumah
tangga, yakni sebanyak 11 orang. Informan yang berprofesi sebagai petani
sebanyak sembilan orang, PNS sebanyak lima orang, dan pegawai swasta sebanyak
tiga orang. Sedangkan informan yang sudah pensiun dan masih berstatus sebagai
siswa masing-masing sebanyak satu orang.
Pengetahuan
Sebagian
besar informan memiliki pengetahuan yang kurang tentang obat generik, bahkan
ada informan yang tidak tahu sama sekali tentang obat generik. Dari semua
pertanyaan yang menanyakan tingkat pengetahuan informan, nampak bahwa
pengetahuan informan tentang obat generik sangat minim dan banyak diantaranya
yang mengalami pembiasan makna.
Dari
hasil wawancara mengenai apa yang informan ketahui tentang obat generik,
sebagian besar informan menjawab tidak mengetahui apa-apa. Seperti jawaban yang
diberikan informan Jn (43 tahun):
“Saya
tidak tahu. Saya bukan orang berpendidikan.”
Ketidaktahuan
informan dihubungkan dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Dalam konteks
pemahaman tentang obat generik, tingkat pendidikan sebetulnya tidak memberikan
pengaruh yang signifikan oleh karena proses transformasi pesan dapat terjadi
dalam pola yang sangat sederhana melalui berbagai media yang sudah sangat akrab
dipergunakan oleh masyarakat awam, seperti televise dan radio.
Eksplorasi
lebih dalam terhadap ketidaktahuan masyarakat ditemukan penyebab yang mendasar
pada penggunaan istilah-istilah ilmiah dalam proses sosialisasi obat generik.
Hal inilah kemudian membuat masyarakat awam tidak tertarik terhadap pesan-pesan
yang dikampanyekan. Bagi masyarakat awam, penggunaan istilah ilmiah cukup
memusingkan dan membingungkan. Kondisi seperti ini kemudian diperparah lagi
oleh sikap-sikap kepraktisan masyarakat awam yang memang sudah menjadi pola
kehidupannya sehari-hari.
Persepsi
yang berbeda dikemukakan oleh Informan Lk (29 tahun) sebagai berikut:
“Obat generik itu obat yang harganya
murah”.
Harga
merupakan pusat makna yang bekerja dalam membentuk penafsiran dan persepsi
masyarakat terhadap obat generik. Tafsir jenis ini sudah sesuai dengan maksud
pemanfaatan obat generik dalam menciptakan pelayanan obat yang terjangkau.
Jika
menyimak secara linear penafsiran masyarakat dalam hal harga, seharusnya
masyarakat memilih obat generic ini sebagai keputusan yang terbaik. Namun,
fakta lapangan situasi paradoksal dimana masyarakat cenderung tidak menggunakan
obat generic.
Alasan
yang mendasari sesungguhnya irasional oleh karena masyarakat mengidentikkan
“murah” berarti tidak bermutu. Terdapat rantai penyampaian informasi yang
terputus di masyarakat sehingga pemaknaan obat generic mengalami distorsi.
Dengan
bahasa yang berbeda, namun makna relative sama diungkapkan oleh informan An (25
tahun) sebagai berikut:
“Obat generik itu hanya
diberikan kepada pasien
Jamkesmas”
Penafsiran
obat murah memang melekat pada diri masyarakat melalui pengungkapan analogi,
seperti yang dikemukakan oleh informan di atas. Peserta Jaminan Kesehatan
Masyarakat sebagai kebijakan pemerintah pusat memang dikhususkan kepada
keluarga miskin, sehingga penggunaan obat sebagai rangkaian pelayanan kesehatan
dianggapnya sebagai sesuatu pelayanan yang “murah”.
Alasan
murah pada jenis persepsi seperti ini dibingkai oleh kecenderungan kesan bahwa
obat generic memiliki kualitas yang kurang.
Persepsi
yang disertai dengan argumentasi rasional juga digambarkan oleh salah seorang
informan jawaban informan kunci Li (41 tahun) dengan mengatakan :
“Obat generik merupakan obat yang diproduksi sendiri dengan
menekan biaya sehingga harganya murah tetapi dengan kualitas yg sama dengan
obat paten.”
Sayangnya
pernyataan rasional seperti di atas tidak bertransformasi secara luas di
kalangan masyarakat biasa. Umumnya pesan tentang perbandingan antara kualitas
obat paten dan obat generic semata-mata ditangkap hanya pada persoalan harga.
Berdasarkan
hasil wawancara tentang perbedaan obat generik dan obat paten, informan Dm (45
tahun) menjawab :
“Saya tidak tau perbedaan obat generik dan obat paten”
Ini
menandakan bahwa persepsi masyarakat mengenai obat generic hanyalah dalam
konteks harga. Pemahaman tentang kualitas yang sama dengan obat paten akan
memunculkan persepsi yang positif dan berimplikasi terhadap pilihan-pilihan
masyarakat terhadap penggunaan obat generic dalam proses pengobatannya.
Kalaupun
ada masyarakat yang membandingkan antara obat generic dan obat paten, lagi-lagi
hanya diartikan dalam makna harga murah.
Hasil
reduksi data terhadap jawaban Dm (45 tahun) menginformasikan bahwa sebagian
besar informan tidak mengetahui perbedaan obat generik dan obat paten.
Sedangkan jawaban yang berbeda diungkapkan oleh Yh (59 tahun) yang menyatakan
bahwa perbedaannya terletak pada harga obat generik yang lebih murah dari obat
paten.
Sedangkan
informan kunci Kr (52 tahun) memberikan jawaban:
“Obat generik dan obat paten hanya
berbeda dalam segi kemasan dan harga. Obat generik cenderung sangat murah
karena tidak memerlukan biaya produksi dan promosi yang besar. Namun kualitas obat generik dan obat paten sama saja.”
Persepsi
harga murah sebagai pusat makna kemudian menuntun masyarakat dalam meahami lebih
jauh tentang khasiat obat generic. Oleh karena obat paten dianggap mahal, maka
secara sederhana, masyarakat mengganggapnya sebagai bermutu/berkhasiat,
sebagaimana dikemukakan oleh informan Lk (29 tahun) adalah :
“Karena obat paten lebih mahal, pasti khasiatnya juga lebih baik”
Hampir
senada dengan jawaban Lk, informan Yl (21 tahun) memberikan jawaban yang
menyatakan:
“Obat generik kayaknya tidak bagus karena
harganya murah. Dimana-mana, barang murah pasti kualitasnya kurang bagus”
Hasil
reduksi data terhadap jawaban informan Lk (29 tahun) dan Yl (21 tahun)
menyatakan bahwa obat paten lebih baik dari obat generik karena pertimbangan
harga. Ada keyakinan informan bahwa barang dengan harga murah berarti mutu dan
kualitas yang kurang bagus.
Namun,
jawaban yang sangat berbeda diungkapkan oleh informan kunci Li (41 tahun) yang
menyatakan :
“Mutu obat generik sama saja dengan obat paten”
Hasil
reduksi data terhadap jawaban informan kunci menyatakan bahwa mutu obat generik
dan obat paten sama saja.
Namun,
An (25 tahun) memberikan jawaban berbeda dan mengatakan :
“Setahuku obat generik itu sangat murah dan obat generik itu yang
mahal sekali”
Hasil
reduksi data jawaban informan terhadap pertanyaan mengenai keuntungan
penggunaan obat generik hanya dilihat dari segi harga yang lebih murah seperti
yang diungkapkan oleh Kt (29 tahun):
“Obat
generik itu lebih murah dari obat paten. Perbedaannya sangat besar.”
Sedangkan
sebagian besar informan yang lain tetap tidak mengetahui keuntungan penggunaan
obat generik seperti yang diungkapkan oleh Mc (45 tahun) :
“Saya
tidak tahu apa-apa soal itu”
Namun,
informan kunci Li (41 tahun) memberikan jawaban :
“Keuntungan
menggunakan obat generik adalah harganya yang sangat murah dengan kualitas yang sama baiknya dengan obat paten”
Sedangkan
untuk pertanyaan tentang kerugian penggunaan obat generik, sebagian besar
informan masih menjawab tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh Dm (45 tahun)
:
“Saya
kurang tahu”
Namun,
jawaban Yh (59 tahun) menyatakan :
“Kalau
dibandingakan obat paten yang bagus dan harganya mahal, pasti obat generik
kurang bagus mutunya”
Sedangkan
informan kunci Kr (52 tahun) memberikan jawaban :
“Penggunaan
obat generik itu sama saja khasiat dan efek sampingnya dengan obat paten. Jadi
jika dibandingkan dengan obat paten, kerugiannya tentu saja tidak ada.”
Reduksi
data terhadap jawaban Yh (59 tahun) menunjukkan bahwa dampak negatif penggunaan
obat generik adalah mutunya yang kurang bagus.
Informasi
Informasi yang
dimiliki informan mengenai obat paten sangat minim. Bahkan banyak informan yang
belum pernah mendapatkan informasi apapun mengenai obat generik. Sedangkan
sebagian informan mendapatkan informasi yang agak menyimpang dari fakta
mengenai obat generik.
Terhadap
pertanyaan mengenai informasi yang didapatkan mengenai obat generik, informan
Yl (21 tahun) memberikan jawaban :
“Saya tahunya obat generik itu dikasih ke masyarakat miskin”
Sedangkan
informan Yh (59 tahun) memberikan jawaban :
“Setahu saya, obat generik itu obat yang murah dan kurang
bermutu”
Hasil reduksi
data jawaban Yl (21 tahun) menyatakan bahwa obat generik adalah obat untuk
masyarakat miskin. Sedangkan reduksi data terhadap jawaban Yh (59 tahun)
menyatakan bahwa obat generik adalah obat murah dan kurang bermutu. Namun,
sebagian besar informan menyatakan tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh Dc
(40 tahun) :
“Tidak ada kutahu”
Jawaban informan
mengenai sumber informasi mengenai obat generik mengungkapkan bahwa mereka
mendapatkan informasi melalui media televisi, seperti jawaban yang diberikan
oleh Lk (29 tahun) :
“Saya tahunya dari berita di
televisi”
Sedangkan An (25
tahun) mendapatkan informasi mengenai obat generik dari temannya, seperti
pengakuan yang diungkapkannya :
“Temanku yang kasitahuka’ masalah obat generik”
Namun, jawaban
mayoritas informan adalah tidak tahu, seperti yang diungkapkan oleh informan Mt
(34 tahun) :
“Tidak pernah kudengar”
Menjawab
pertanyaan mengenai pandangan informan terhadap obat generik, sebagian besar
menyatakan tidak tahu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan Ot (28
tahun) :
“Tidak mengertika’ soal obat jadi tidak kutahu yang dibilang
obat generik”
Namun jawaban
berbeda diungkapkan oleh Lk (29 tahun) dan Kt (29 tahun) yang menyatakan bahwa
obat generik bagus karena harganya murah dan dapat digunakan oleh orang tidak
mampu. Lk (29 tahun) menyatakan :
“Saya rasa obat generik itu sangat bagus karena harganya
murah dan terjangkau bagi sebagian besar masyarakat yang kurang mampu”
Sedangkan
jawaban Kt (29 tahun) adalah :
“Karena harganya murah, obat generik itu baik digunakan oleh
orang yang tidak mampu”
Informan kunci
Li (41 tahun) sebagai seorang apoteker memberikan pandangan
“Seharusnya semua masyarakat bisa menggunakan obat generik”
Terhadap
pertanyaan mengenai sasaran penggunaan obat generik, Sk (16 tahun) menyatakan
bahwa hanya masyarakat miskin yang menggunakan obat generik. Hal ini nampak
dari jawabannya yang menyatakan :
“Memang masyarakat miskin yang
menjadi pengguna obat generik”
Sedangkan Yh (59
tahun) menambahkan peserta Askes PNS sebagai pengguna obat generik seperti yang
terungkap dalam jawabannya :
“Masyarakat miskin memang mendapatkan obat generik. Tetapi
peserta AskesPNS juga mendapatkan obat yang sama jika berobat.”
Namun, dari
semua jawaban informan yang ada, jawaban yang menyatakan ketidaktahuan informan
sangat dominan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan Dn (26 tahun) :
“Saya tidak tahu”
Sebagai bahan
masukan bahwa semua golongan masyarakat menjadi sasaran penggunaan obat generik,
informan kunci Kr 52 tahun) memberikan jawaban :
“Obat generik tidak hanya ditujukan
bagi masyarakat miskin. Obat generik ditujukan untuk semua golongan”
Peresepsi Dokter
Peresepan dokter
sangat besar peranannya dalam menyukseskan penggunaan obat generik. Hasil
wawancara dengan informan menyatakan bahwa semua informan menerima jika dokter
meresepkan obat generik karena menganggap dokter lebih tahu mana yang terbaik
untuk pasien. Hal ini terungkap dari hasil reduksi data terhadap jawaban Jh (43
tahun) dan Kt (29 tahun). Informan Jh mengungkapkan :
“Saya terima saja semua obat yang dikasih sama dokter”
Sedangkan
jawaban informan Kt :
“Tentu dokter tahu apa yang paling baik bagi kita. Jadi saya
terima saja obat apapun yang dokter kasih”
Semua informan
juga menyatakan tidak meminta dokter untuk meresepkan obat generik jika mereka
berkunjung ke dokter karena dokter dianggap lebih kompeten dalam memilih
pengobatan yang terbaik bagi pasien. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lk
(29 tahun) :
“Saya tidak pernah meminta obat generik kepada dokter. Tidak
mungkin saya lebih tahu daripada dokter.”
Namun, jawaban
informan kunci Li (41 tahun) menyatakan bahwa pasien berhak meminta obat
generik kepada dokter. Hal ini terungkap dari jawabannya yang mengatakan :
“Pasien memiliki hak untuk meminta obat generik kepada
dokter jika obat yang diresepkan sudah memiliki generik”
Saat membeli
obat di apotek, sebagian besar pasien tidak meminta obat generik. Sebagian
besar hanya menyerahkan resep yang diberikan oleh dokter. Hasil reduksi data
terhadap jawaban Mk (32 tahun) menyatakan bahwa informan tidak meminta obat
generik. Pernyataan ini dikuatkan oleh jawabannya yang menyatakan :
“Saya biasanya cuma minta obat sesuai resep saja dan tidak
menggantinya”
Sedangkan saat
membeli obat di apotek, Dc (40 tahun) malah meminta obat yang bagus meskipun
harganya mahal. Dc mengungkapkan :
“Kalau saya ke apotik, saya biasanya meminta obat yang
bagus. Harganya memang lebih mahal tapi mutunya”
Hasil reduksi
data terhadap jawaban informan mengenai keaktifan mereka dalam menggunakan obat
generik, sebagian besar tetap mengaku tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh
Lc (38 tahun) :
“Saya tidak tahu obat apa yang kumakan. Saya makan saja
semua obat yang dikasih sama dokter tanpa tanya apakah ini obat generik atau
bukan”
Sedangkan Yl (21
tahun) yang memiliki kartu Jamkesmas mengaku sebagai pengguna obat generik. Hal
ini terungkap pada jawabannya yang menyatakan :
“Karena saya peserta Jamkesmas, maka otomatis saya Cuma mendapatkan
obat generik jika berobat”
Jawaban yang
berseberangan diungkapkan oleh Lk (29 tahun) yang mengaku jarang menggunakan
obat generik. Lk mengatakan :
“Saya jarang menggunakan obat generik. Paling saya
menggunakan obat generik jika berobat ke Puskesmas”
Pembahasan
Pengetahuan
Obat generik
merupakan obat yang perlu dimasyarakatkan agar dapat digunakan oleh semua
lapisan masyarakat karena manfaatnya yang sama dengan obat paten dengan harga
yang lebih terjangkau. Harga murah yang dimiliki obat generik karena biaya
produksi yang lebih murah dengan kemasan yang lebih sederhana dan tanpa biaya
promosi. Hal ini sejalan dengan peraturan Menkes RI Nomor HK. 02. 02/ MENKES/ 068/ I/ 2010,
tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah. Peraturan ini khususnya berlaku di rumah sakit pemerintah yang
disarankan untuk menerapkan aturan tersebut mulai Januari 2010.
Namun, sangat
disayangkan bahwa sebagian besar masyarakat masih belum memahami tentang obat
generik. Bahkan yang paling menyedihkan adalah masih banyak masyarakat yang
asing dengan obat generik. Hal ini terungkap dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di RSUD Lakipadada.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang obat generik masih sangat
minim, bahkan ditemukan adanya salah persepsi dalam masyarakat tentang obat
generik. Interpretasi data terhadap pendapat Jn (43 tahun) terungkap bahwa
ketidaktahuan masyarakat membuat masyarakat tidak menggunakan hak mereka
sebagai penerima laayanan kefarmasian. Pengetahuan sebatas harga obat generik
juga dapat memberikan interpretasi salah yang menganggap obat generik sebagai
obat murahan yang tentu saja dianggap memiliki kualitas yang kurang baik.
Informasi yang
diberikan informan kunci yang menyatakan bahwa obat generik merupakan obat yang
diproduksi dengan menekan biaya produksi sehingga menghasilkan obat dengan
harga murah tapi dengan kualitas yang sama dengan obat paten perlu disampaikan
kepada masyarakat agar pengetahua mereka tentang obat generik bisa meningkat.
Sebagian besar
masyarakat juga tidak dapat membedakan obat generik dan obat paten sehingga
sepenuhnya tergantung penuh kepada pemberi pelayanan (dokter dan apoteker).
Sedangkan pengetahuan masyarakat yang hanya sebatas perbedaan harga obat
generik dan obat paten dapat menimbulkan prasangka bahwa obat generik murah
karena kualitasnya yang kurang baik dan tidak terjamin. Masyarakat perlu
memahami bahwa obat generik dan obat paten hanya berbeda dalam segi kemasan dan
harga. Obat generik cenderung sangat murah karena tidak memerlukan biaya
produksi dan promosi yang besar. Namun kualitas obat generik dan obat paten
sama. Pengetahuan yang benar akan membuat masyarakat mendapatkan pengobatan
yang efisien (murah) dan efektif (bermutu).
Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa perbandingan harga yang jauh berbeda antara obat generik
dan obat paten memberikan pelabelan negatif terhadap obat generik yang hanya
dipandang sebelah mata karena hanya dianggap sebagai obat yang diperuntukkan
hanya bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan yang
mahal. Penggunaan obat generik sama khasiat dan efek sampingnya dengan obat
paten. Jadi jika dibandingkan dengan obat paten, kerugian penggunaan obat
generik tentu saja tidak ada.
Edukasi yang
benar mengenai efektifitas dan efisiensi yang diperoleh dari penggunaan obat
generik perlu dikembangkan guna mewujudkan masyarakat yang cerdas memilih obat
berdasarkan mutunya dan dengan harga yang terjangkau. Kegiatan edukasi ini
perlu mendapat dukungan bukan hanya dari pihak kesehatan sebagai pemberi
pelayanan kesehatan, tetapi perlu melibatkan lintas sektor yang lain agar dapat
lebih dimasyarakatkan secara luas.
Informasi
Teknologi
informasi dan telekomunikasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat modern. Informasi dapat disampaikan hanya dalam hitungan
detik kepada masyarakat. Namun, sangat disayangkan bahwa teknologi informasi
dan telekomunikasi modern tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk
memasyarakatkan penggunaan obat generik dan memberikan informasi yang akurat
mengenai kelebihan obat generik.
Hal ini secara
nyata nampak pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar
informan menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi mengenai
obat generik sehingga mereka tidak menggunakannya. Adanya informasi yang salah
dalam masyarakat juga menyebabkan adanya persepsi negatif terhadap obat
generik. Obat generik cenderung dianggap sebagai obat kelas bawah dengan mutu
yang tidak baik.
Hasil interpretasi
data terhadap jawaban Yl (21 tahun) menyatakan bahwa informasi yang salah
tentang sasaran penggunaan obat generik hanya untuk masyarakat miskin akan
berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat akan mutu obat generik sehingga
menurunkan penggunaan obat generik. Sedangkan hasil interpretasi data terhadap
keterangan informan kunci Kr (52 tahun) menyatakan bahwa pengetahuan tentang
adanya peraturan yang mewajibkan rumah sakit pemerintah menggunakan obat
generik akan berdampak pada penyusunan kebijakan rumah sakit yang lebih
mengutamakan penggunaan obat generik dan membatasi penggunaan obat paten hanya
pada obat yang belum memiliki generik.
Interpretasi
data terhadap jawaban Lk (29 tahun) menyatakan bahwa peranan media elektronik
berupa televisi sangat besar dampaknya terhadap tingkat pengetahuan masyarakat
akan obat generik. Hal ini perlu disikapi dengan pemberian iklan layanan
masyarakat tentang penggunaan obat generik. Kurangnya informasi tentang obat
generik, baik melalui media massa maupun media lainnya akan mengakibatkan
banyaknya masyarakat yang tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang obat
generik.
Sudah saatnya
pemerintah menggunakan berbagai media massa yang ada untuk memasyarakatkan
penggunaan obat generik. Informasi yang benar dan sampai ke semua lapisan
masyarakat akan mampu meningkatkan kepercayaan semua lapisan masyarakat untuk
menggunakan obat generik.
Pendapat
informan kunci Li (41 tahun) menyatakan bahwa seharusnya semua masyarakat bisa
menggunakan obat generik. Penggunaan obat generik oleh semua lapisan masyarakat
akan berdampak pada kembalinya peran obat generik untuk memberikan pengobatan
efektif dan efisien. Informasi yang benar tentang sasaran penggunaan obat
generik akan memberikan pemahaman bahwa orang miskin dan orang kaya sama-sama
bisa sehat dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah dan terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat.
Faktor efisiensi
dan efektifitas obat generik seharusnya menjadi daya tarik yang perlu diusung
untuk mensosialisasikan penggunaan obat generik guna meningkatkan kualitas
hidup masyarakat dengan cara yang lebih murah dan hasil yang maksimal.
Sedangkan informasi salah yang selama ini berkembang di masyarakat yang
menyatakan bahwa obat generik identik dengan masyarakat miskin serta peserta
Askes perlu diluruskan agar masyarakat tidak memiliki keraguan untuk
menggunakan obat generik.
Peresepan Dokter
Dokter dan
apoteker memiliki peran yang sangat vital dalam menyukseskan penggunaan obat
generik, khususnya di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah. Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor HK. 02. 02 / MENKES / 068 /I / 2010 mewajibkan
dokter untuk meresepkan obat generik kepada pasien yang dilayani si rumah sakit
pemerintah. Peranan apoteker di instalasi farmasi juga sangat penting untuk
bisa memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik serta
berkonsultasi dengan dokter dan pasien untuk mengganti penggunaan obat paten
dengan obat generik yang sepadan.
Hasil
interpretasi terahadap pendapat Jh (43 tahun) menunjukkan bahwa penerimaan atas
semua resep dokter mengindikasikan bahwa masyarakat belum menyadari haknya
untuk memilih obat yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anggapan
bahwa dokter “tahu semua” akan berdampak pada pemberian otoritas penuh kepada
dokter untuk menentukan jenis pengobatan kepada pasien tanpa mempertimbangkan
keadaan ekonomi dan kebutuhan pasien.
Kecenderungan
yang muncul dalam masyarakat menyatakan bahwa dokter tahu apa yang terbaik
kepada pasien sehingga pasien bersikap masa bodoh dan menerima obat apa saja
yang diresepkan dokter. Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta
untuk mendapatkan resep obat generik yang sepadan dari dokter. Masyarakatpun
seharusnya bisa bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika
membeli obat atau menebus resep dari dokter.
Sikap masyarakat
yang cenderung masa bodoh dan memberikan otoritas penuh kepada dokter untuk
menentukan pengobatan yang diperolehnya perlu diubah agar mereka sadar akan hak
mereka untuk mendapatkan obat murah dan berkualitas. Dengan pengetahuan yang
benar tentang obat generik, maka masyarakat diharapkan pro-aktif dalam
mewujudkan derajat kesehatannya yang optimal secara efisien dan efektif.
Edukasi terhadap
semua lapisan masyarakat akan hak mereka mendapatkan pengobatan murah dan
berkualitas dengan obat generik perlu menjadi perhatian semua pihak agar
terwujud masyarakat yang sehat secara murah. Pengeluaran masyarakat yang besar
untuk membeli obat paten atau obat generik bermerk harusnya dapat dicegah
dengan pemberian informasi yang tepat dan mengganti obatnya dengan obat generik
yang sepadan dan terjangkau.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini,
maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1.
Persepsi masyarakat tentang obat generik adalah sebagai obat murahan
terbentuk dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai
implikasi dari terbatasnya pengetahan masyarakat tentang penggunaan obat
rasional.
2.
Persepsi masyarakat yang cenderung bias itu tersosialisasi dengan cepat
dikalangan masyarakat melalui pengalaman mereka terhadap penggunaan obat
generik yang hanya diberikan kepada pasien peserta Jamkesmas/ditujukan hanya
kepada masyarakat miskin.
3.
Persepsi-persepsi masyarakat itu diperkuat oleh cara dokter dalam
memberikan resep kepada pasien yang cenderung memberikan obat paten tanpa
memberi pilihan terhadap penggunaan obat generik.
Saran
1.
Mengintensifkan
sosialisasi penggunaan obat generic dengan menekankan pesan-pesan pada
perbandingan kualitas yang sama antara obat generic dengan obat paten.
2.
Guna mendorong
berkembangnya pengalaman konstruktif dikalangan masyarakat terhadap pemanfaatan
obat generic, diharapkan semua fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah
menggunakan obat generic kepada semua jenis pasien.
3.
Masyarakat
perlu dididik untuk meminta resep obat generik saat berobat ke dokter atau
membeli obat di apotek untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dengan biaya yang
lebih terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito,
Wiku, 2008, Sistem Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta
Anonim,
2010, Apa Beda Istilah Obat Paten dan Obat Generik, Apotik Sehat
(online), www.apotiksehat.com,
diakses 28 Februari 2010
Anonim,
2010, Obat Generik juga Manjur, Equator News (online), www.equator-news.com, diakses 28
Februari 2010
Anonim,
2010, Obat Generik, Harga Murah tapi Mutu tidak Kalah, http://www.medicastore.com,
diakses 28 Februari 2010
Bungin,
Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rajawali Pers, Jakarta
Depkes
RI, 2005, Rancangan Kebijakan Obat Nasional 2005, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 28
Februari 2010
Julianto,
Iwan, 2010, Sulitnya Meregulasi Obat Latah, Kompas (online), http://kesehatan.kompas.com, diakses
28 Februari 2010
Nazir,
Moh., 2005, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor
Notoatmodjo,
Soekidjo, 2005,
Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010, Kewajiban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 28
Februari 2010
Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01/MENKES/146/I/2010, Harga Obat Generik, Depkes
(online), http://depkes.go.id,
diakses 28 Februari 2010
Pratiknya,
A. Watik, 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009, Kesehatan, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 21
Juni 2010
WHO,
2001, How to Develop and Implement a National Drug Policy, World
Health Organization
Tidak ada komentar:
Posting Komentar