Minggu, 22 April 2012

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK (Studi Kualitatif di RSUD Lakipada Kabupaten Tator)


PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK
(Studi Kualitatif di RSUD Lakipada Kabupaten Tator)

Arlin Adam*
* Dosen FKM UVRI Makassar

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Name (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk  zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik memiliki kualitas yang sama dengan obat paten meskipun harganya lebih murah karena biaya produksi yang lebih kecil dan tidak memerlukan biaya promosi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Informan pada penelitian ini adalah masyarakat yang datang berkunjung ke instalasi farmasi RSUD Lakipadada selama penelitian berlangsung. Pengambilan sampel diperoleh dengan teknik accidental sampling yakni penarikan saat informan sedang mendapatkan pelayanan kesehatan. Informan yang diwawancara pada penelitian ini sebanyak 28 orang. Hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai obat generik masih sangat kurang sehingga menimbulkan persepsi salah yang menganggap obat generik sebagai obat murahan dengan kualitas yang kurang baik pula. Masih kurangnya informasi yang didapatkan masyarakat mengenai obat generik sehingga muncul anggapan yang menyatakan bahwa obat generik hanya ditujukan bagi masyarakat miskin. Sebagian besar masyarakat tidak meminta obat generik kepada dokter karena menganggap dokter tahu obat mana yang lebih baik. Rekomendasi kajian ini adalah perlunya sosialisasi penggunaan obat generik melalui media massa, perlunya komunikasi yang lebih efektif antara dokter dan apoteker sebagai pemberi pelayanan dengan pasien sebagai penerima pelayanan agar penggunaan obat generik dapat ditingkatkan, serta masyarakat perlu dididik untuk meminta obat generik saat berobat ke dokter atau membeli obat di apotek untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dengan biaya yang lebih terjangkau.

Kata Kunci : Persepsi, Obat Generik



PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Akses terhadap obat terutama obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan institusi pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Berdasarkan Rancangan Kebijakan Obat Nasional (2005), sebelum diberlakukannya otonomi daerah, diperkirakan 50-80% masyarakat Indonesia memiliki akses terhadap obat esensial. Sementara itu, menurut WHO (World Health Organization) kurang dari setengah jumlah penduduk di negara-negara berkembang dapat memiliki akses terhadap obat esensial. (Adisasmito, 2008)

Pengaturan mengenai obat dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian yang hendak dicapai. Data tahun 2001 memperlihatkan bahwa penduduk perkotaan yang menggunakan obat berjumlah 85,04% dan penduduk pedesaan sebesar 83,02%. Oleh karena itu, komunikasi, informasi, dan edukasi yang efektif dan terus-menerus merupakan keharusan dalam rangka penggunaan obat yang rasional. (Adisasmito, 2008)

Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua jenis obat generik, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya. Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik ”A” diberi merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”B” memberi nama ”gatoticilin” dan seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut, bahannya sama: amoxicillin. Dari sisi zat aktifnya (komponen utama obat), antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten. Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya sama. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal. (http://id.wikipedia.org, diakses 28 Februari 2010)

Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga barang elektronik sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya. Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa penemuannya, yang menjadi hak eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang pasien derita memerlukan jenis obat baru. Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. (www.medicastore.com, diakses 28 Februari 2010)

Salah kaprah yang sering ada dalam masyarakat adalah ketidaktahuan masyarakat yang menyebut obat generik bermerek sebagai obat paten karena harganya yang lebih mahal dari harga obat generik berlogo, bahkan hampir sama dengan obat paten. Kesalahan umum yang juga masih sering terjadi adalah menyebut semua produk MNC (Multi National Company) sebagai obat paten. Padahal, obat yang telah lewat masa patennya sudah berubah menjadi obat generik bermerek meskipun masih menggunakan nama patennya sebagai merek dagang. (www.tonangardyanto.blogspot.com, diakses 28 Februari 2010)

Adanya persepsi yang salah tentang obat generik akan berakibat pada penggunaan obat paten yang tidak semestinya. Ketidaktahuan masyarakat akan menjadi sebuah fenomena penyakit dan kemiskinan. Penggunaan obat paten untuk semua jenis penyakit, meskipun telah memiliki obat generik yang sepadan akan berdampak secara ekonomi karena harganya yang sangat mahal. Keadaan ini akan turut berperan pada semakin banyaknya penduduk miskin. Kemiskinan akan selalu identik pula dengan tingginya angka kesakitan.

Rumah sakit sebagai salah satu unit pelayanan yang paling banyak berurusan dengan obat dituntut untuk dapat memberikan pengobatan yang rasional, efektif, dan efisien. Masalah yang selama ini ada di hampir semua rumah sakit adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan obat. Hal ini karena seringkali resep yang diberikan dokter kebanyakan menggunakan obat paten. Namun, ada pula masyarakat yang enggan menggunakan obat generik karena dianggap tidak bermutu.

Pasar obat generik nasional turun dari Rp 2,52 triliun atau 10 persen dari pasar obat nasional menjadi Rp 2.37 triliun atau 7,2% dari pasar obat nasional dalam lima tahun terakhir. Sementara, pasar obat nasional meningkat dari Rp 23,59 triliun pada 2005 menjadi Rp 32,93 triliun pada 2009. Sedangkan ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7% dari target 95 %. (Julianto, 2010)

Munculnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pada 14 Januari 2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat. Dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit pemerintah wajib meresepkan obat generik kepada semua pasien sesuai indikasi medis. Apoteker berhak untuk mengganti obat yang diresepkan dengan obat generik yang mutunya sudah terjamin atas persetujuan dokter dan/atau pasien. Sesuai peraturan, pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota dapat memberi peringatan lisan atau tertulis kepada dokter, tenaga kefarmasian, dan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah yang melanggar ketentuan. Peringatan lisan atau tertulis diberikan paling banyak tiga kali dan apabila peringatan tidak dipatuhi, pemerintah akan menjatuhkan sanksi administratif kepegawaian kepada yang bersangkutan.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lakipadada sebagai satu-satunya rumah sakit pemerintah di Kabupaten Tana Toraja dituntut untuk dapat memberikan pelayanan pengobatan rasional dengan memberikan resep obat generik kepada semua pasien, kecuali untuk obat baru yang belum memiliki obat generik dengan khasiat yang sama. Ketidaktahuan masyarakat serta kurang tersedianya obat generik di instalasi farmasi rumah sakit sering menjadi kendala dalam pelaksanaan Permenkes RI No. HK. 02. 02/ MENKES/ 068/ I/ 2010. Ketidaktahuan akan mutu dan harga obat generik perlu disikapi dengan langkah sosialisasi yang edukatif kepada masyarakat agar dapat memahami hak mereka untuk mendapatkan pengobatan rasional yang terjangkau.

Berdasarkan masalah di atas, maka penulis mencoba untuk meneliti persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada. Hal ini akan sangat berguna untuk menilai tingkat pengetahuan masyarakat, sehingga dapat ditemukan solusi terbaik agar pelaksanaan aturan pemberian obat generik dapat terlaksana dengan baik.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Mengapa masyarakat memberikan persepsi bahwa obat generik itu obat murahan?”

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum

Diketahuinya persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja

Tujuan Khusus
a.     Diketahuinya informasi secara kualitatif tentang pengetahuan masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada
b.     Diketahuinya kualitas informasi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada
c.     Diketahuinya fenomena peresepan dokter terhadap obat generik di RSUD Lakipadada

Manfaat Penelitian

Memberi masukan bagi pemerintah dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya dalam penyedian obat generik yang terjangkau dan berkualitas

DEFENISI KONSEPTUAL
1.     Persepsi pada penelitian ini adalah apa yang diyakini masyarakat sebagai sebuah fakta atau kebenaran tentang obat generik
2.     Pengetahuan pada penelitian ini adalah apa yang diketahui masyarakat tentang obat generik
3.     Informasi pada penelitian ini adalah bagaimana informasi tentang obat generik yang diketahui oleh masyarakat
4.     Peresepan Dokter pada penelitian ini adalah bagaimana peresepan obat generik oleh dokter kepada masyarakat

METODE PENELITIAN

Disain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk mengekplorasi secara mendalam tentang persepsi masyarakat tentang obat generik di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja.

Informan

Informan Biasa

Informan pada penelitian ini adalah masyarakat yang datang berkunjung ke instalasi farmasi RSUD Lakipadada selama penelitian berlangsung. Pengambilan sampel diperoleh dengan teknik accidental sampling yakni pengambilan sampel secara kebetulan. Adapun jumlah informan yang diwawancara sebanyak 28 orang.

Informan kunci

Informan kunci pada penelitian ini sebanyak dua orang, yang terdiri atas satu orang dokter dan satu orang apoteker. Jawaban-jawaban informan ini dapat dijadikan sebagai alat verifikasi dalam menjustifikasi kebenaran-kebenarn terhadap jawaban informan biasa.






Pengumpulan Data

Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh di lapangan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara untuk menggali pemahaman masyarakat tentang obat generik

Data Sekunder

Diperoleh dari RSUD Lakipadada dan instansi terkait lainnya                                                                        

Pengolahan, Analisis Data, dan Penyajian Data

Pengolahan data dan analisa data dilakukan secara bersamaan dengan melalui tahapan-tahapan; reduksi data, kategorisasi data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk naratif dengan mengelaborasi secara mendalam makna-makna yang terkandung dalam setiap fakta atau pernyataan informan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 28 Maret s/d 28 April 2010 dengan mewawancara beberapa informan secara acak hingga informasi yang diperoleh sudah berulang-ulang (jenuh). Adapun informan yang berhasil diwawancara sebanyak 28 orang dan dua orang informan kunci. Berikut disajikan hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

Karakteristik Informan dan Informan Kunci

Umur

Tabel 1
Distribusi Informan Berdasarkan Kelompok Umur di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010

Kelompok Umur
Jumlah
Persentase
< 30 tahun
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
> 50 tahun
12
9
7
2
40,00
30,00
23,33
 6,67
Jumlah
30
 100,00
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 6.1, maka diketahui bahwa informan yang berhasil diwawancara memiliki rentang umur antara 16 – 59 tahun. Informan berumur 30 tahun ke bawah sebanyak 12 orang, informan berumur 31 – 40 tahun sebanyak sembilan orang, informan berumur 41 – 50 tahun sebanyak tujuh orang, dan informan berumur 50 tahun ke atas sebanyak dua orang.

Jenis Kelamin
Tabel 2
Distribusi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Laki-laki
Perempuan
15
15
50,00
50,00
Jumlah
30
 100,00
Sumber : Data Primer

Tabel 6.2 menunjukkan bahwa informan laki-laki dan informan perempuan yang diwawancara masing-masing sebanyak 15 orang.

Pendidikan
Tabel 3
Distribusi Informan Berdasarkan Pendidikan di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Kelompok Umur
Jumlah
Persentase
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Akademi
S1
3
8
6
8
2
3
10,00
26,67
20,00
26,67
6,66
10,00
Jumlah
30
100,00
Sumber : Data Primer

Tabel 6.3 memperlihatkan bahwa informan yang berpendidikan SMA dan SD masing-masing berjumlah delapan orang. Informan yang tamat SMP sebanyak enam orang. Informan yang tidak sekolah dan S1 masing-masing sebanyak tiga orang. Sedangkan informan yang berpendidikan akademi sebanyak dua orang.

Pekerjaan
Tabel 4
Distribusi Informan Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2010
Kelompok Umur
Jumlah
Persentase
Tani
IRT
PNS
Pensiunan
Swasta
Siswa
9
11
5
1
3
1
30,00
36,67
16,67
 3,33
10,00
 3,33
Jumlah
30
 100,00
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 6.4 nampak bahwa profesi sebagian besar informan adalah sebagai ibu rumah tangga, yakni sebanyak 11 orang. Informan yang berprofesi sebagai petani sebanyak sembilan orang, PNS sebanyak lima orang, dan pegawai swasta sebanyak tiga orang. Sedangkan informan yang sudah pensiun dan masih berstatus sebagai siswa masing-masing sebanyak satu orang.

Pengetahuan

Sebagian besar informan memiliki pengetahuan yang kurang tentang obat generik, bahkan ada informan yang tidak tahu sama sekali tentang obat generik. Dari semua pertanyaan yang menanyakan tingkat pengetahuan informan, nampak bahwa pengetahuan informan tentang obat generik sangat minim dan banyak diantaranya yang mengalami pembiasan makna.

Dari hasil wawancara mengenai apa yang informan ketahui tentang obat generik, sebagian besar informan menjawab tidak mengetahui apa-apa. Seperti jawaban yang diberikan informan Jn (43 tahun):

“Saya tidak tahu. Saya bukan orang berpendidikan.”

Ketidaktahuan informan dihubungkan dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Dalam konteks pemahaman tentang obat generik, tingkat pendidikan sebetulnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan oleh karena proses transformasi pesan dapat terjadi dalam pola yang sangat sederhana melalui berbagai media yang sudah sangat akrab dipergunakan oleh masyarakat awam, seperti televise dan radio.
Eksplorasi lebih dalam terhadap ketidaktahuan masyarakat ditemukan penyebab yang mendasar pada penggunaan istilah-istilah ilmiah dalam proses sosialisasi obat generik. Hal inilah kemudian membuat masyarakat awam tidak tertarik terhadap pesan-pesan yang dikampanyekan. Bagi masyarakat awam, penggunaan istilah ilmiah cukup memusingkan dan membingungkan. Kondisi seperti ini kemudian diperparah lagi oleh sikap-sikap kepraktisan masyarakat awam yang memang sudah menjadi pola kehidupannya sehari-hari.

Persepsi yang berbeda dikemukakan oleh Informan Lk (29 tahun) sebagai berikut:

Obat generik itu obat yang harganya murah”.

Harga merupakan pusat makna yang bekerja dalam membentuk penafsiran dan persepsi masyarakat terhadap obat generik. Tafsir jenis ini sudah sesuai dengan maksud pemanfaatan obat generik dalam menciptakan pelayanan obat yang terjangkau.
Jika menyimak secara linear penafsiran masyarakat dalam hal harga, seharusnya masyarakat memilih obat generic ini sebagai keputusan yang terbaik. Namun, fakta lapangan situasi paradoksal dimana masyarakat cenderung tidak menggunakan obat generic.

Alasan yang mendasari sesungguhnya irasional oleh karena masyarakat mengidentikkan “murah” berarti tidak bermutu. Terdapat rantai penyampaian informasi yang terputus di masyarakat sehingga pemaknaan obat generic mengalami distorsi.

Dengan bahasa yang berbeda, namun makna relative sama diungkapkan oleh informan An (25 tahun) sebagai berikut:

“Obat generik itu hanya diberikan kepada pasien Jamkesmas”

Penafsiran obat murah memang melekat pada diri masyarakat melalui pengungkapan analogi, seperti yang dikemukakan oleh informan di atas. Peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat sebagai kebijakan pemerintah pusat memang dikhususkan kepada keluarga miskin, sehingga penggunaan obat sebagai rangkaian pelayanan kesehatan dianggapnya sebagai sesuatu pelayanan yang “murah”.

Alasan murah pada jenis persepsi seperti ini dibingkai oleh kecenderungan kesan bahwa obat generic memiliki kualitas yang kurang.

Persepsi yang disertai dengan argumentasi rasional juga digambarkan oleh salah seorang informan jawaban informan kunci Li (41 tahun) dengan mengatakan :

“Obat generik merupakan obat yang diproduksi sendiri dengan menekan biaya sehingga harganya murah tetapi dengan kualitas yg sama dengan obat paten.”

Sayangnya pernyataan rasional seperti di atas tidak bertransformasi secara luas di kalangan masyarakat biasa. Umumnya pesan tentang perbandingan antara kualitas obat paten dan obat generic semata-mata ditangkap hanya pada persoalan harga.

Berdasarkan hasil wawancara tentang perbedaan obat generik dan obat paten, informan Dm (45 tahun) menjawab :

“Saya tidak tau perbedaan obat generik dan obat paten”

Ini menandakan bahwa persepsi masyarakat mengenai obat generic hanyalah dalam konteks harga. Pemahaman tentang kualitas yang sama dengan obat paten akan memunculkan persepsi yang positif dan berimplikasi terhadap pilihan-pilihan masyarakat terhadap penggunaan obat generic dalam proses pengobatannya.

Kalaupun ada masyarakat yang membandingkan antara obat generic dan obat paten, lagi-lagi hanya diartikan dalam makna harga murah.

Hasil reduksi data terhadap jawaban Dm (45 tahun) menginformasikan bahwa sebagian besar informan tidak mengetahui perbedaan obat generik dan obat paten. Sedangkan jawaban yang berbeda diungkapkan oleh Yh (59 tahun) yang menyatakan bahwa perbedaannya terletak pada harga obat generik yang lebih murah dari obat paten.

Sedangkan informan kunci Kr (52 tahun) memberikan jawaban:

Obat generik dan obat paten hanya berbeda dalam segi kemasan dan harga. Obat generik cenderung sangat murah karena tidak memerlukan biaya produksi dan promosi yang besar. Namun kualitas obat generik dan obat paten sama saja.”

Persepsi harga murah sebagai pusat makna kemudian menuntun masyarakat dalam meahami lebih jauh tentang khasiat obat generic. Oleh karena obat paten dianggap mahal, maka secara sederhana, masyarakat mengganggapnya sebagai bermutu/berkhasiat, sebagaimana dikemukakan oleh informan Lk (29 tahun) adalah :

“Karena obat paten lebih mahal, pasti khasiatnya juga lebih baik”

Hampir senada dengan jawaban Lk, informan Yl (21 tahun) memberikan jawaban yang menyatakan:

Obat generik kayaknya tidak bagus karena harganya murah. Dimana-mana, barang murah pasti kualitasnya kurang bagus”

Hasil reduksi data terhadap jawaban informan Lk (29 tahun) dan Yl (21 tahun) menyatakan bahwa obat paten lebih baik dari obat generik karena pertimbangan harga. Ada keyakinan informan bahwa barang dengan harga murah berarti mutu dan kualitas yang kurang bagus.

Namun, jawaban yang sangat berbeda diungkapkan oleh informan kunci Li (41 tahun) yang menyatakan :

“Mutu obat generik sama saja dengan obat paten”

Hasil reduksi data terhadap jawaban informan kunci menyatakan bahwa mutu obat generik dan obat paten sama saja.

Namun, An (25 tahun) memberikan jawaban berbeda dan mengatakan :

Setahuku obat generik itu sangat murah dan obat generik itu yang mahal sekali”

Hasil reduksi data jawaban informan terhadap pertanyaan mengenai keuntungan penggunaan obat generik hanya dilihat dari segi harga yang lebih murah seperti yang diungkapkan oleh Kt (29 tahun):

“Obat generik itu lebih murah dari obat paten. Perbedaannya sangat besar.”

Sedangkan sebagian besar informan yang lain tetap tidak mengetahui keuntungan penggunaan obat generik seperti yang diungkapkan oleh Mc (45 tahun) :

“Saya tidak tahu apa-apa soal itu”

Namun, informan kunci Li (41 tahun) memberikan jawaban :

“Keuntungan menggunakan obat generik adalah harganya yang sangat murah dengan kualitas yang sama baiknya dengan obat paten”

Sedangkan untuk pertanyaan tentang kerugian penggunaan obat generik, sebagian besar informan masih menjawab tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh Dm (45 tahun) :

“Saya kurang tahu”

Namun, jawaban Yh (59 tahun) menyatakan :

“Kalau dibandingakan obat paten yang bagus dan harganya mahal, pasti obat generik kurang bagus mutunya”

Sedangkan informan kunci Kr (52 tahun) memberikan jawaban :

“Penggunaan obat generik itu sama saja khasiat dan efek sampingnya dengan obat paten. Jadi jika dibandingkan dengan obat paten, kerugiannya tentu saja tidak ada.”

Reduksi data terhadap jawaban Yh (59 tahun) menunjukkan bahwa dampak negatif penggunaan obat generik adalah mutunya yang kurang bagus.


Informasi

Informasi yang dimiliki informan mengenai obat paten sangat minim. Bahkan banyak informan yang belum pernah mendapatkan informasi apapun mengenai obat generik. Sedangkan sebagian informan mendapatkan informasi yang agak menyimpang dari fakta mengenai obat generik.

Terhadap pertanyaan mengenai informasi yang didapatkan mengenai obat generik, informan Yl (21 tahun) memberikan jawaban :

“Saya tahunya obat generik itu dikasih ke masyarakat miskin”

Sedangkan informan Yh (59 tahun) memberikan jawaban :

“Setahu saya, obat generik itu obat yang murah dan kurang bermutu”

Hasil reduksi data jawaban Yl (21 tahun) menyatakan bahwa obat generik adalah obat untuk masyarakat miskin. Sedangkan reduksi data terhadap jawaban Yh (59 tahun) menyatakan bahwa obat generik adalah obat murah dan kurang bermutu. Namun, sebagian besar informan menyatakan tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh Dc (40 tahun) :

Tidak ada kutahu”

Jawaban informan mengenai sumber informasi mengenai obat generik mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan informasi melalui media televisi, seperti jawaban yang diberikan oleh Lk (29 tahun) :

Saya tahunya dari berita di televisi”

Sedangkan An (25 tahun) mendapatkan informasi mengenai obat generik dari temannya, seperti pengakuan yang diungkapkannya :

“Temanku yang kasitahuka’ masalah obat generik”

Namun, jawaban mayoritas informan adalah tidak tahu, seperti yang diungkapkan oleh informan Mt (34 tahun) :

“Tidak pernah kudengar”

Menjawab pertanyaan mengenai pandangan informan terhadap obat generik, sebagian besar menyatakan tidak tahu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan Ot (28 tahun) :

“Tidak mengertika’ soal obat jadi tidak kutahu yang dibilang obat generik”

Namun jawaban berbeda diungkapkan oleh Lk (29 tahun) dan Kt (29 tahun) yang menyatakan bahwa obat generik bagus karena harganya murah dan dapat digunakan oleh orang tidak mampu. Lk (29 tahun) menyatakan :

“Saya rasa obat generik itu sangat bagus karena harganya murah dan terjangkau bagi sebagian besar masyarakat yang kurang mampu”

Sedangkan jawaban Kt (29 tahun) adalah :

“Karena harganya murah, obat generik itu baik digunakan oleh orang yang tidak mampu”

Informan kunci Li (41 tahun) sebagai seorang apoteker memberikan pandangan

“Seharusnya semua masyarakat bisa menggunakan obat generik”

Terhadap pertanyaan mengenai sasaran penggunaan obat generik, Sk (16 tahun) menyatakan bahwa hanya masyarakat miskin yang menggunakan obat generik. Hal ini nampak dari jawabannya yang menyatakan :

Memang masyarakat miskin yang menjadi pengguna obat generik”

Sedangkan Yh (59 tahun) menambahkan peserta Askes PNS sebagai pengguna obat generik seperti yang terungkap dalam jawabannya :

“Masyarakat miskin memang mendapatkan obat generik. Tetapi peserta AskesPNS juga mendapatkan obat yang sama jika berobat.”

Namun, dari semua jawaban informan yang ada, jawaban yang menyatakan ketidaktahuan informan sangat dominan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan Dn (26 tahun) :

“Saya tidak tahu”

Sebagai bahan masukan bahwa semua golongan masyarakat menjadi sasaran penggunaan obat generik, informan kunci Kr 52 tahun) memberikan jawaban :

Obat generik tidak hanya ditujukan bagi masyarakat miskin. Obat generik ditujukan untuk semua golongan”



Peresepsi Dokter

Peresepan dokter sangat besar peranannya dalam menyukseskan penggunaan obat generik. Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa semua informan menerima jika dokter meresepkan obat generik karena menganggap dokter lebih tahu mana yang terbaik untuk pasien. Hal ini terungkap dari hasil reduksi data terhadap jawaban Jh (43 tahun) dan Kt (29 tahun). Informan Jh mengungkapkan :

“Saya terima saja semua obat yang dikasih sama dokter”

Sedangkan jawaban informan Kt :

“Tentu dokter tahu apa yang paling baik bagi kita. Jadi saya terima saja obat apapun yang dokter kasih”

Semua informan juga menyatakan tidak meminta dokter untuk meresepkan obat generik jika mereka berkunjung ke dokter karena dokter dianggap lebih kompeten dalam memilih pengobatan yang terbaik bagi pasien. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lk (29 tahun) :

“Saya tidak pernah meminta obat generik kepada dokter. Tidak mungkin saya lebih tahu daripada dokter.”

Namun, jawaban informan kunci Li (41 tahun) menyatakan bahwa pasien berhak meminta obat generik kepada dokter. Hal ini terungkap dari jawabannya yang mengatakan :

“Pasien memiliki hak untuk meminta obat generik kepada dokter jika obat yang diresepkan sudah memiliki generik”

Saat membeli obat di apotek, sebagian besar pasien tidak meminta obat generik. Sebagian besar hanya menyerahkan resep yang diberikan oleh dokter. Hasil reduksi data terhadap jawaban Mk (32 tahun) menyatakan bahwa informan tidak meminta obat generik. Pernyataan ini dikuatkan oleh jawabannya yang menyatakan :

“Saya biasanya cuma minta obat sesuai resep saja dan tidak menggantinya”

Sedangkan saat membeli obat di apotek, Dc (40 tahun) malah meminta obat yang bagus meskipun harganya mahal. Dc mengungkapkan :

“Kalau saya ke apotik, saya biasanya meminta obat yang bagus. Harganya memang lebih mahal tapi mutunya

Hasil reduksi data terhadap jawaban informan mengenai keaktifan mereka dalam menggunakan obat generik, sebagian besar tetap mengaku tidak tahu seperti yang diungkapkan oleh Lc (38 tahun) :

“Saya tidak tahu obat apa yang kumakan. Saya makan saja semua obat yang dikasih sama dokter tanpa tanya apakah ini obat generik atau bukan”

Sedangkan Yl (21 tahun) yang memiliki kartu Jamkesmas mengaku sebagai pengguna obat generik. Hal ini terungkap pada jawabannya yang menyatakan :

“Karena saya peserta Jamkesmas, maka otomatis saya Cuma mendapatkan obat generik jika berobat”

Jawaban yang berseberangan diungkapkan oleh Lk (29 tahun) yang mengaku jarang menggunakan obat generik. Lk mengatakan :

“Saya jarang menggunakan obat generik. Paling saya menggunakan obat generik jika berobat ke Puskesmas”

Pembahasan

Pengetahuan
Obat generik merupakan obat yang perlu dimasyarakatkan agar dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat karena manfaatnya yang sama dengan obat paten dengan harga yang lebih terjangkau. Harga murah yang dimiliki obat generik karena biaya produksi yang lebih murah dengan kemasan yang lebih sederhana dan tanpa biaya promosi. Hal ini sejalan dengan peraturan Menkes RI Nomor HK. 02. 02/ MENKES/ 068/ I/ 2010, tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Peraturan ini khususnya berlaku di rumah sakit pemerintah yang disarankan untuk menerapkan aturan tersebut mulai Januari 2010.

Namun, sangat disayangkan bahwa sebagian besar masyarakat masih belum memahami tentang obat generik. Bahkan yang paling menyedihkan adalah masih banyak masyarakat yang asing dengan obat generik. Hal ini terungkap dari hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUD Lakipadada.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang obat generik masih sangat minim, bahkan ditemukan adanya salah persepsi dalam masyarakat tentang obat generik. Interpretasi data terhadap pendapat Jn (43 tahun) terungkap bahwa ketidaktahuan masyarakat membuat masyarakat tidak menggunakan hak mereka sebagai penerima laayanan kefarmasian. Pengetahuan sebatas harga obat generik juga dapat memberikan interpretasi salah yang menganggap obat generik sebagai obat murahan yang tentu saja dianggap memiliki kualitas yang kurang baik.

Informasi yang diberikan informan kunci yang menyatakan bahwa obat generik merupakan obat yang diproduksi dengan menekan biaya produksi sehingga menghasilkan obat dengan harga murah tapi dengan kualitas yang sama dengan obat paten perlu disampaikan kepada masyarakat agar pengetahua mereka tentang obat generik bisa meningkat.

Sebagian besar masyarakat juga tidak dapat membedakan obat generik dan obat paten sehingga sepenuhnya tergantung penuh kepada pemberi pelayanan (dokter dan apoteker). Sedangkan pengetahuan masyarakat yang hanya sebatas perbedaan harga obat generik dan obat paten dapat menimbulkan prasangka bahwa obat generik murah karena kualitasnya yang kurang baik dan tidak terjamin. Masyarakat perlu memahami bahwa obat generik dan obat paten hanya berbeda dalam segi kemasan dan harga. Obat generik cenderung sangat murah karena tidak memerlukan biaya produksi dan promosi yang besar. Namun kualitas obat generik dan obat paten sama. Pengetahuan yang benar akan membuat masyarakat mendapatkan pengobatan yang efisien (murah) dan efektif (bermutu).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan harga yang jauh berbeda antara obat generik dan obat paten memberikan pelabelan negatif terhadap obat generik yang hanya dipandang sebelah mata karena hanya dianggap sebagai obat yang diperuntukkan hanya bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan yang mahal. Penggunaan obat generik sama khasiat dan efek sampingnya dengan obat paten. Jadi jika dibandingkan dengan obat paten, kerugian penggunaan obat generik tentu saja tidak ada.

Edukasi yang benar mengenai efektifitas dan efisiensi yang diperoleh dari penggunaan obat generik perlu dikembangkan guna mewujudkan masyarakat yang cerdas memilih obat berdasarkan mutunya dan dengan harga yang terjangkau. Kegiatan edukasi ini perlu mendapat dukungan bukan hanya dari pihak kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan, tetapi perlu melibatkan lintas sektor yang lain agar dapat lebih dimasyarakatkan secara luas.

Informasi
Teknologi informasi dan telekomunikasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Informasi dapat disampaikan hanya dalam hitungan detik kepada masyarakat. Namun, sangat disayangkan bahwa teknologi informasi dan telekomunikasi modern tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk memasyarakatkan penggunaan obat generik dan memberikan informasi yang akurat mengenai kelebihan obat generik.

Hal ini secara nyata nampak pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar informan menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi mengenai obat generik sehingga mereka tidak menggunakannya. Adanya informasi yang salah dalam masyarakat juga menyebabkan adanya persepsi negatif terhadap obat generik. Obat generik cenderung dianggap sebagai obat kelas bawah dengan mutu yang tidak baik.

Hasil interpretasi data terhadap jawaban Yl (21 tahun) menyatakan bahwa informasi yang salah tentang sasaran penggunaan obat generik hanya untuk masyarakat miskin akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat akan mutu obat generik sehingga menurunkan penggunaan obat generik. Sedangkan hasil interpretasi data terhadap keterangan informan kunci Kr (52 tahun) menyatakan bahwa pengetahuan tentang adanya peraturan yang mewajibkan rumah sakit pemerintah menggunakan obat generik akan berdampak pada penyusunan kebijakan rumah sakit yang lebih mengutamakan penggunaan obat generik dan membatasi penggunaan obat paten hanya pada obat yang belum memiliki generik.

Interpretasi data terhadap jawaban Lk (29 tahun) menyatakan bahwa peranan media elektronik berupa televisi sangat besar dampaknya terhadap tingkat pengetahuan masyarakat akan obat generik. Hal ini perlu disikapi dengan pemberian iklan layanan masyarakat tentang penggunaan obat generik. Kurangnya informasi tentang obat generik, baik melalui media massa maupun media lainnya akan mengakibatkan banyaknya masyarakat yang tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang obat generik.

Sudah saatnya pemerintah menggunakan berbagai media massa yang ada untuk memasyarakatkan penggunaan obat generik. Informasi yang benar dan sampai ke semua lapisan masyarakat akan mampu meningkatkan kepercayaan semua lapisan masyarakat untuk menggunakan obat generik.

Pendapat informan kunci Li (41 tahun) menyatakan bahwa seharusnya semua masyarakat bisa menggunakan obat generik. Penggunaan obat generik oleh semua lapisan masyarakat akan berdampak pada kembalinya peran obat generik untuk memberikan pengobatan efektif dan efisien. Informasi yang benar tentang sasaran penggunaan obat generik akan memberikan pemahaman bahwa orang miskin dan orang kaya sama-sama bisa sehat dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Faktor efisiensi dan efektifitas obat generik seharusnya menjadi daya tarik yang perlu diusung untuk mensosialisasikan penggunaan obat generik guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan cara yang lebih murah dan hasil yang maksimal. Sedangkan informasi salah yang selama ini berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa obat generik identik dengan masyarakat miskin serta peserta Askes perlu diluruskan agar masyarakat tidak memiliki keraguan untuk menggunakan obat generik.

Peresepan Dokter

Dokter dan apoteker memiliki peran yang sangat vital dalam menyukseskan penggunaan obat generik, khususnya di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK. 02. 02 / MENKES / 068 /I / 2010 mewajibkan dokter untuk meresepkan obat generik kepada pasien yang dilayani si rumah sakit pemerintah. Peranan apoteker di instalasi farmasi juga sangat penting untuk bisa memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik serta berkonsultasi dengan dokter dan pasien untuk mengganti penggunaan obat paten dengan obat generik yang sepadan.

Hasil interpretasi terahadap pendapat Jh (43 tahun) menunjukkan bahwa penerimaan atas semua resep dokter mengindikasikan bahwa masyarakat belum menyadari haknya untuk memilih obat yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anggapan bahwa dokter “tahu semua” akan berdampak pada pemberian otoritas penuh kepada dokter untuk menentukan jenis pengobatan kepada pasien tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi dan kebutuhan pasien.

Kecenderungan yang muncul dalam masyarakat menyatakan bahwa dokter tahu apa yang terbaik kepada pasien sehingga pasien bersikap masa bodoh dan menerima obat apa saja yang diresepkan dokter. Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik yang sepadan dari dokter. Masyarakatpun seharusnya bisa bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika membeli obat atau menebus resep dari dokter.

Sikap masyarakat yang cenderung masa bodoh dan memberikan otoritas penuh kepada dokter untuk menentukan pengobatan yang diperolehnya perlu diubah agar mereka sadar akan hak mereka untuk mendapatkan obat murah dan berkualitas. Dengan pengetahuan yang benar tentang obat generik, maka masyarakat diharapkan pro-aktif dalam mewujudkan derajat kesehatannya yang optimal secara efisien dan efektif.

Edukasi terhadap semua lapisan masyarakat akan hak mereka mendapatkan pengobatan murah dan berkualitas dengan obat generik perlu menjadi perhatian semua pihak agar terwujud masyarakat yang sehat secara murah. Pengeluaran masyarakat yang besar untuk membeli obat paten atau obat generik bermerk harusnya dapat dicegah dengan pemberian informasi yang tepat dan mengganti obatnya dengan obat generik yang sepadan dan terjangkau.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan




Berdasarkan hasil penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah:

1.         Persepsi masyarakat tentang obat generik adalah sebagai obat murahan terbentuk dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai implikasi dari terbatasnya pengetahan masyarakat tentang penggunaan obat rasional.
2.         Persepsi masyarakat yang cenderung bias itu tersosialisasi dengan cepat dikalangan masyarakat melalui pengalaman mereka terhadap penggunaan obat generik yang hanya diberikan kepada pasien peserta Jamkesmas/ditujukan hanya kepada masyarakat miskin.
3.         Persepsi-persepsi masyarakat itu diperkuat oleh cara dokter dalam memberikan resep kepada pasien yang cenderung memberikan obat paten tanpa memberi pilihan terhadap penggunaan obat generik.

Saran
1.        Mengintensifkan sosialisasi penggunaan obat generic dengan menekankan pesan-pesan pada perbandingan kualitas yang sama antara obat generic dengan obat paten.
2.        Guna mendorong berkembangnya pengalaman konstruktif dikalangan masyarakat terhadap pemanfaatan obat generic, diharapkan semua fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah menggunakan obat generic kepada semua jenis pasien.
3.        Masyarakat perlu dididik untuk meminta resep obat generik saat berobat ke dokter atau membeli obat di apotek untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dengan biaya yang lebih terjangkau.

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, Wiku, 2008, Sistem Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta
Anonim, 2010, Apa Beda Istilah Obat Paten dan Obat Generik, Apotik Sehat (online), www.apotiksehat.com, diakses 28 Februari 2010
Anonim, 2010, Obat Generik juga Manjur, Equator News (online), www.equator-news.com, diakses 28 Februari 2010
Anonim, 2010, Obat Generik, Harga Murah tapi Mutu tidak Kalah, http://www.medicastore.com, diakses 28 Februari 2010
Anonim, 2010, Obat, Wikipedia (online), http://id.wikipedia.org, diakses 28 Februari 2010
Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rajawali Pers, Jakarta
Depkes RI, 2005, Rancangan Kebijakan Obat Nasional 2005, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 28 Februari 2010
Julianto, Iwan, 2010, Sulitnya Meregulasi Obat Latah, Kompas (online), http://kesehatan.kompas.com, diakses 28 Februari 2010
Nazir, Moh., 2005, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor
Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010, Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 28 Februari 2010
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01/MENKES/146/I/2010, Harga Obat Generik, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 28 Februari 2010
Pratiknya, A. Watik, 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009, Kesehatan, Depkes (online), http://depkes.go.id, diakses 21 Juni 2010
WHO, 2001, How to Develop and Implement a National Drug Policy, World Health Organization

Tidak ada komentar:

Posting Komentar